Senin, 11 Agustus 2008

Santri Pendongeng dari Ponorogo

Sempat banting setir ke dunia jurnalistik, Muhammad Yusron Muchsin akhirnya meraih kesuksesan di dunia dongeng yang dirintisnya sejak nyantri di Pondok Modern Gontor. Keikhlasan menjadi kunci rahasianya.

Menjadi seniman seakan menjadi panggilan hidup Muhammad Yusron Muchsin. Sejak nyantri di Pondok Modern Gontor (1984-1992), lelaki kelahiran Ponorogo tiga puluh tahun yang lalu itu seperti tak lepas dari dunia seni dan hiburan. Ia aktif di komunitas Teater Islam Darussalam (Terisda).

Atraksi serunya waktu duduk di kelas 5 Gontor pernah mempesona teman-temannya sesama santri. Waktu itu, ia menyajikan atraksi sulap dengan menggergaji orang dengan gergaji besai yang besar dan panjang. “Kiai Hasan Abdullah Sahal sendiri yang memastikan bahwa gergaji yang dipakai untuk atraksi itu sungguhan,” kenangnya.

Yusron juga termasuk orang yang ikut mengenalkan seni pantomim dan tarian break dancebreak dancebreak dance dengan musik mulut. Ternyata sambutannya luar biasa. Banyak yang suka,” paparnya. sehingga tidak dilarang oleh Pondok. Berkat kreativitasnya, pantomim dan akhirnya bisa diterima dengan baik di Gontor. “Saya ubah musik yang mengiringi tarian

Dari aksi-aksi itulah nama Yusron menjadi sangat terkenal di kalangan santri Pondok. Ia biasa dipanggil “Yusron PO” (Ponorogo). Sebuah penanda sekaligus penghormatan, karena dialah satu-satunya santri asal Ponorogo yang memiliki kelebihan menirukan suara-suara mirip suara aslinya, seperti suara alam, transportasi, alat perang, binatang, orang tua, nenek-nenek, anak kecil, dan banyak suara lainnya.

Ketemu Didi Petet

Setelah lulus dari Gontor tahun 1992, keinginan Yusron untuk meningkatkan bakat seninya makin kuat, terutama seni pantomim. Waktu itu, tidak banyak komunitas pantomim di Indonesia. Salah satunya, didirikan oleh Seno Utoyo dan Didi Petet. “Saya harus bertemu mereka di Jakarta,” tegasnya.

Yusron akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta. Selain belajar kesenian pantomim, Yusron juga kuliah dan bekerja. Ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas At-Tahiriyah sekaligus menjadi penyiar radio At-Tahiriyah. Di sela-sela itu, Yusron terus mencari informasi tentang sosok Seno Utoyo dan Didi Petet.

Akhirnya, ia dapat bertemu dengan Didi Petet di kediamannya di daerah Pamulang, Tangerang, Jawa Barat. “Waktu itu saya menunggu dua hari satu malam di masjid dekat rumahnya, dan bertemu di pagi harinya,” jelasnya.

Gayung pun bersambut. Didi Petet menyambut baik keinginan Yusron untuk belajar seni pantomim. Oleh Didi Petet, Yusron dikenalkan kepada Yayuk, kolega Didi Petet di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pertemuan Yusron dengan pria yang biasa disapa Mas Yayuk ini ternyata menjadi awak karir Yusron di dunia seni nasional.

Yusron mengikuti latihan teknik-teknik dasar pantomim dengan tekun dan sabar. “Saya pernah belajar berdiri selama berjam-jam di tengah terik matahari demi melatih kekuatan kaki,” papar putra dari Drs H Soejoto Muchsin dan Hj Sitta Sutarti ketika ditemui Gontor di kantornya.

Suami dari Rahma Erfiyani ini juga mengaku banyak belajar dari Ratna Sarumpaet, dengan berlatih dalam Teater Satu Merah Panggung yang diasuhnya. Ia pun sering bermain dengan Ebet Kadarusman untuk mendampingi show-nya di Jakarta maupun luar Jakarta.

Di sela-sela itu, Yusron juga sempat mendirikan kelompok seni “Alibaba”. Bersama 5 temannya, Alibaba pernah tampil di beberapa tempat, seperti Taman Ismail Marzuki, Taman Mini Indonesia Indah, Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol, dan panggilan di beberapa perusahaan.

Tersapu krisis moneter

Tapi, ketika krisis moneter tahun 1997 merontokkan sendi-sendi perekonomian Indonesia, Yusron pun terkena imbasnya. Kontrak kerja untuk mengisi salah satu stasiun televise terpaksa putus begitu saja. Kelompok seni yang ia dirikan juga terkatung-katung dan akhirnya bubar.

Akibatnya, kelima teman Yusron keluar dan mencari jalan sendiri-sendiri untuk tetap hidup. Demikian juga dengan Yusron. Pria yang kini tinggal di daerah Cimanggis, Depok, ini sempat banting setir menjadi penjual pakaian dan bahkan wartawan di Harian Umum Pelita.

Namun begitu, profesi wartawan tidak ia jalankan dengan sungguh-sungguh. Keinginannya untuk berkarir di dunia seni dan hiburan ternyata lebih kuat. “Saya berpikir, kalau hanya jadi wartawan, mubazir dong tiruan suara yang pernah saya temukan di Gontor,” tandasnya kepada Gontor.

Pelan tapi pasti, Yusron kembali mencari dan menemukan dunia lamanya. Ia bergabung dengan Yayasan Bunda Yessi yang diprakarsai Yessi Gusman di daerah Gondangdia, Jakarta Pusat, dan Yayasan Darussalam, Jakarta. Karena sering bertemu anak-anak, Yusron sering memberikan dongeng kepada mereka. Di sinilah Yusron mulai tertarik mendalami seni mendongeng.

Bersama Yayasan Bunda Yessi maupun sendiri, Yusron kerap dipanggil untuk mendongeng di depan anak-anak. Ia sendiri heran mengapa anak-anak bisa tertawa ngakak setiap kali ia bercerita. “Padahal, dongengan saya biasa-biasa saja,” ujar pria yang kini akrab disapa “Kak Ucon”.

Dari situ, karir Yusron terus menanjak. Ketika Toko Buku Gramedia menggelar Seminar dan Pelatihan Dongeng (Maret 2005), Yusron diundang sebagai praktisi dongeng. Acara itu sukses besar. Yusron juga pernah menjadi anggota Dewan Juri dalam Lomba Dongeng tingkat nasional yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (Juli 2005). Acara ini juga sukses besar. Hikmahnya, nama “Kak Ucon” semakin dikenal di dunia seni dongeng.

Selain di GRamedia, beberapa perusahaan juga mengundangnya untuk mendongeng, seperti Coca-Cola Indonesia, perusahaan susu Indomilk, Popeye’s di Cibubur dan masih banyak yang lainnya. Di Rumah Sakit Mitra Keluarga-Kelapa Gading, Jakarta, dan Rumah Sakit Dharmais-Jakarta, Yusron juga diminta untuk mendongeng pada anak-anak yang hamper dipastikan tidak punya kesempatan hidup lagi.

Wajah dan aksinya juga sudah masuk stasiun televise. Yusron pernah muncul di RCTI (Selamat Pagi/2005), Metro TV (Head Line News/2007), Trans 7 (Laptop si-Unyil/2007, dalam dua episode: Boneka dan Dongeng), El Shinta TV (Didaktika/2007), dan TV One (Dongeng Keliling/2008, dalam 12 episode). Tahun 2008 ini dongeng karyanya diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam sebuah buku. Ia juga telah melatih seni mendongeng sekitar 25 karyawan KPK, yang rencananya akan mengikuti road show dongeng.

Rahasia sukses

Yusron mengaku bersyukur, ketika nyantri di Gontor, masih sempat dididik oleh KH Imam Zarkasyi (almarhum). Dalam waktu yang singkat sebelum beliau wafat (1996), banyak sekali kenangan, petuah yang ia peroleh dari KH Imam Zarkasyi, baik pendidikan agama maupun motivasi-motivasi hidup.

Sebagai santri biasa, ia mengaku bahwa dirinya memiliki kemampuan otak yang pas-pasan. Saat belajar di kelas 2 ia tidak naik kelas, karena sakit keras. Begitu juga saat di kelas 5, ia kembali gagal naik kelas. “Sekolah yang seharusnya saya selesaikan 6 tahun harus molor sampai 8 tahun,” ujarnya.

Kenyataan itu ia terima apa adanya. Walau sedih, semangatnya tetap utuh. Ia teringat nasehat yang sering disampaikan Pak Zar, panggilan hormat untuk KH Imam Zarkasyi. “Berani hidup, tak takut mati. Takut mati, jangan hidup. Takut hidup, mati saja. Hidup sekali, hiduplah yang berarti”.

Menurut Yusron, petuah tersebut sangat dalam maknanya sehingga memotivasi dirinya untuk terus membangun inovasi dalam kehidupan. Demikian juga dalam mendongeng. Bagi Yusron, mendongeng adalah bagian dari hidupnya.

Ada satu rahasia sederhana dari Yusron soal mendongeng: mendongeng itu harus jujur dan ikhlas. Jika mendongeng dijalankan dengan ikhlas dan tidak ada niatan untuk membohongi anak-anak, maka dongengan kita akan diterima. “Anak-anak akan tahu jika mendongeng tidak dijalankan dengan keikhlasan,” jelas ayah dari Syahril Siddiq yang baru berusia 1,6 tahun ini.

Dimuat di Majalah Gontor, edisi 10 tahun V, Februari 2008, pada rubrik Sukses, halaman 42-43. Penulis: Ahmad Muhajir.

Tidak ada komentar: