Senin, 11 Agustus 2008

“Menghormati Anak”

To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice

Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan

Santri Pendongeng dari Ponorogo

Sempat banting setir ke dunia jurnalistik, Muhammad Yusron Muchsin akhirnya meraih kesuksesan di dunia dongeng yang dirintisnya sejak nyantri di Pondok Modern Gontor. Keikhlasan menjadi kunci rahasianya.

Menjadi seniman seakan menjadi panggilan hidup Muhammad Yusron Muchsin. Sejak nyantri di Pondok Modern Gontor (1984-1992), lelaki kelahiran Ponorogo tiga puluh tahun yang lalu itu seperti tak lepas dari dunia seni dan hiburan. Ia aktif di komunitas Teater Islam Darussalam (Terisda).

Atraksi serunya waktu duduk di kelas 5 Gontor pernah mempesona teman-temannya sesama santri. Waktu itu, ia menyajikan atraksi sulap dengan menggergaji orang dengan gergaji besai yang besar dan panjang. “Kiai Hasan Abdullah Sahal sendiri yang memastikan bahwa gergaji yang dipakai untuk atraksi itu sungguhan,” kenangnya.

Yusron juga termasuk orang yang ikut mengenalkan seni pantomim dan tarian break dancebreak dancebreak dance dengan musik mulut. Ternyata sambutannya luar biasa. Banyak yang suka,” paparnya. sehingga tidak dilarang oleh Pondok. Berkat kreativitasnya, pantomim dan akhirnya bisa diterima dengan baik di Gontor. “Saya ubah musik yang mengiringi tarian

Dari aksi-aksi itulah nama Yusron menjadi sangat terkenal di kalangan santri Pondok. Ia biasa dipanggil “Yusron PO” (Ponorogo). Sebuah penanda sekaligus penghormatan, karena dialah satu-satunya santri asal Ponorogo yang memiliki kelebihan menirukan suara-suara mirip suara aslinya, seperti suara alam, transportasi, alat perang, binatang, orang tua, nenek-nenek, anak kecil, dan banyak suara lainnya.

Ketemu Didi Petet

Setelah lulus dari Gontor tahun 1992, keinginan Yusron untuk meningkatkan bakat seninya makin kuat, terutama seni pantomim. Waktu itu, tidak banyak komunitas pantomim di Indonesia. Salah satunya, didirikan oleh Seno Utoyo dan Didi Petet. “Saya harus bertemu mereka di Jakarta,” tegasnya.

Yusron akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta. Selain belajar kesenian pantomim, Yusron juga kuliah dan bekerja. Ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas At-Tahiriyah sekaligus menjadi penyiar radio At-Tahiriyah. Di sela-sela itu, Yusron terus mencari informasi tentang sosok Seno Utoyo dan Didi Petet.

Akhirnya, ia dapat bertemu dengan Didi Petet di kediamannya di daerah Pamulang, Tangerang, Jawa Barat. “Waktu itu saya menunggu dua hari satu malam di masjid dekat rumahnya, dan bertemu di pagi harinya,” jelasnya.

Gayung pun bersambut. Didi Petet menyambut baik keinginan Yusron untuk belajar seni pantomim. Oleh Didi Petet, Yusron dikenalkan kepada Yayuk, kolega Didi Petet di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pertemuan Yusron dengan pria yang biasa disapa Mas Yayuk ini ternyata menjadi awak karir Yusron di dunia seni nasional.

Yusron mengikuti latihan teknik-teknik dasar pantomim dengan tekun dan sabar. “Saya pernah belajar berdiri selama berjam-jam di tengah terik matahari demi melatih kekuatan kaki,” papar putra dari Drs H Soejoto Muchsin dan Hj Sitta Sutarti ketika ditemui Gontor di kantornya.

Suami dari Rahma Erfiyani ini juga mengaku banyak belajar dari Ratna Sarumpaet, dengan berlatih dalam Teater Satu Merah Panggung yang diasuhnya. Ia pun sering bermain dengan Ebet Kadarusman untuk mendampingi show-nya di Jakarta maupun luar Jakarta.

Di sela-sela itu, Yusron juga sempat mendirikan kelompok seni “Alibaba”. Bersama 5 temannya, Alibaba pernah tampil di beberapa tempat, seperti Taman Ismail Marzuki, Taman Mini Indonesia Indah, Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol, dan panggilan di beberapa perusahaan.

Tersapu krisis moneter

Tapi, ketika krisis moneter tahun 1997 merontokkan sendi-sendi perekonomian Indonesia, Yusron pun terkena imbasnya. Kontrak kerja untuk mengisi salah satu stasiun televise terpaksa putus begitu saja. Kelompok seni yang ia dirikan juga terkatung-katung dan akhirnya bubar.

Akibatnya, kelima teman Yusron keluar dan mencari jalan sendiri-sendiri untuk tetap hidup. Demikian juga dengan Yusron. Pria yang kini tinggal di daerah Cimanggis, Depok, ini sempat banting setir menjadi penjual pakaian dan bahkan wartawan di Harian Umum Pelita.

Namun begitu, profesi wartawan tidak ia jalankan dengan sungguh-sungguh. Keinginannya untuk berkarir di dunia seni dan hiburan ternyata lebih kuat. “Saya berpikir, kalau hanya jadi wartawan, mubazir dong tiruan suara yang pernah saya temukan di Gontor,” tandasnya kepada Gontor.

Pelan tapi pasti, Yusron kembali mencari dan menemukan dunia lamanya. Ia bergabung dengan Yayasan Bunda Yessi yang diprakarsai Yessi Gusman di daerah Gondangdia, Jakarta Pusat, dan Yayasan Darussalam, Jakarta. Karena sering bertemu anak-anak, Yusron sering memberikan dongeng kepada mereka. Di sinilah Yusron mulai tertarik mendalami seni mendongeng.

Bersama Yayasan Bunda Yessi maupun sendiri, Yusron kerap dipanggil untuk mendongeng di depan anak-anak. Ia sendiri heran mengapa anak-anak bisa tertawa ngakak setiap kali ia bercerita. “Padahal, dongengan saya biasa-biasa saja,” ujar pria yang kini akrab disapa “Kak Ucon”.

Dari situ, karir Yusron terus menanjak. Ketika Toko Buku Gramedia menggelar Seminar dan Pelatihan Dongeng (Maret 2005), Yusron diundang sebagai praktisi dongeng. Acara itu sukses besar. Yusron juga pernah menjadi anggota Dewan Juri dalam Lomba Dongeng tingkat nasional yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (Juli 2005). Acara ini juga sukses besar. Hikmahnya, nama “Kak Ucon” semakin dikenal di dunia seni dongeng.

Selain di GRamedia, beberapa perusahaan juga mengundangnya untuk mendongeng, seperti Coca-Cola Indonesia, perusahaan susu Indomilk, Popeye’s di Cibubur dan masih banyak yang lainnya. Di Rumah Sakit Mitra Keluarga-Kelapa Gading, Jakarta, dan Rumah Sakit Dharmais-Jakarta, Yusron juga diminta untuk mendongeng pada anak-anak yang hamper dipastikan tidak punya kesempatan hidup lagi.

Wajah dan aksinya juga sudah masuk stasiun televise. Yusron pernah muncul di RCTI (Selamat Pagi/2005), Metro TV (Head Line News/2007), Trans 7 (Laptop si-Unyil/2007, dalam dua episode: Boneka dan Dongeng), El Shinta TV (Didaktika/2007), dan TV One (Dongeng Keliling/2008, dalam 12 episode). Tahun 2008 ini dongeng karyanya diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam sebuah buku. Ia juga telah melatih seni mendongeng sekitar 25 karyawan KPK, yang rencananya akan mengikuti road show dongeng.

Rahasia sukses

Yusron mengaku bersyukur, ketika nyantri di Gontor, masih sempat dididik oleh KH Imam Zarkasyi (almarhum). Dalam waktu yang singkat sebelum beliau wafat (1996), banyak sekali kenangan, petuah yang ia peroleh dari KH Imam Zarkasyi, baik pendidikan agama maupun motivasi-motivasi hidup.

Sebagai santri biasa, ia mengaku bahwa dirinya memiliki kemampuan otak yang pas-pasan. Saat belajar di kelas 2 ia tidak naik kelas, karena sakit keras. Begitu juga saat di kelas 5, ia kembali gagal naik kelas. “Sekolah yang seharusnya saya selesaikan 6 tahun harus molor sampai 8 tahun,” ujarnya.

Kenyataan itu ia terima apa adanya. Walau sedih, semangatnya tetap utuh. Ia teringat nasehat yang sering disampaikan Pak Zar, panggilan hormat untuk KH Imam Zarkasyi. “Berani hidup, tak takut mati. Takut mati, jangan hidup. Takut hidup, mati saja. Hidup sekali, hiduplah yang berarti”.

Menurut Yusron, petuah tersebut sangat dalam maknanya sehingga memotivasi dirinya untuk terus membangun inovasi dalam kehidupan. Demikian juga dalam mendongeng. Bagi Yusron, mendongeng adalah bagian dari hidupnya.

Ada satu rahasia sederhana dari Yusron soal mendongeng: mendongeng itu harus jujur dan ikhlas. Jika mendongeng dijalankan dengan ikhlas dan tidak ada niatan untuk membohongi anak-anak, maka dongengan kita akan diterima. “Anak-anak akan tahu jika mendongeng tidak dijalankan dengan keikhlasan,” jelas ayah dari Syahril Siddiq yang baru berusia 1,6 tahun ini.

Dimuat di Majalah Gontor, edisi 10 tahun V, Februari 2008, pada rubrik Sukses, halaman 42-43. Penulis: Ahmad Muhajir.

Pentingkan Buku Teori Dongeng? (jilid-2)

Maaf jika posting saya di milis Pendongeng tentang "Pentingkah Buku Teori Dongeng?", yang juga saya masukkan di blog-sebelum tulisan ini, kesannya sombong. Sebenarnya bukan itu maksud saya, tapi pancingan untuk berdialog - saling tukar pengalaman. Dan ini semoga menjadi masukan berharga bagi siapa saja yang peduli dengan dongeng dan berkeinginan untuk mendongeng.

Sepengetahuan saya, saat ini banyak kegiatan, pekerjaan, hingga cita-cita yang berhenti pada teori. Tahu cara terbaik melakukan sesuatu, setelah belajar, membaca banyak referensi, atau bertanya kesana-kemari, tapi tanpa ada tindaklanjut: praktek.

Seorang teman di Depok pernah ingin mendirikan restoran. Sebenarnya dia sudah mempunyai konsep yang matang, mengingat dia alumnus perguruan tinggi ternama jurusan tataboga, tapi dia tidak yakin. Beragam buku dia kumpulkan dan baca, dari masakan favorit, manajemen restoran, tata bangunan restoran, cara penyajian hidangan yang baik, hingga kisah sukses para pengusaha makanan. Tidak cukup dengan itu, dia pun ikut berbagai kursus tataboga yang diperkirakan sesuai dengan kelanjutan cita-citanya.

Sampai suatu saat, dia bilang pada saya, "Saya capek. Saya ingin mendirikan restoran...tapi sekarang saya jadi ragu-ragu untuk melanjutkannya. " Saat dia bilang begitu, seorang teman lainnya yang ada di situ hanya bilang, "Kenapa tidak langsung kamu lakukan?"

Seolah dia dihentakkan oleh sebuah kesadaran. Dan dia pun melakukan langsung, dengan mendirikan warung (bukan restoran seperti yang dia cita-citakan). Awalnya, dia kikuk. Tapi, sebagaimana pengakuannya, dengan praktek langsung, dia banyak diuntungkan: dia tahu persis yang diinginkan pelanggannya. Karena para pelanggan itu sering memberi masukan dari sisi rasa masakan, pilihan menu, hingga pelayanan. Maka, dia tahu apa kekurangannya yang harus diperbaiki, dan kelebihannya yang harus dia tingkatkan. Bahkan dia mengaku menyesal, kenapa bisnis ini tidak dimulai dari dulu.

Aa Gym, dalam biografinya juga pernah ragu untuk menerima tamu dari Timur Tengah, mengingat dia hanya bisa bahasa Arab sepotong-potong. Dia pun akhirnya berniat dalam hati, untuk langsung mempraktekkannya. Pertemuan pun terjadi. Aa Gym pun terlihat kagok saat dia bertanya/menjawab mengingat pengetahuan bahasa Arabnya terbatas. Tapi dia berujar pada tamu, kalau sedang belajar bahasa Arab. Di luar dugaannya, sang tamu bukan menyepelekkan atau menertawai, justru merasa salut kepada da'i muda itu.

Dalam mendongeng saya tidak melarang seseorang untuk membaca buku teori dongeng, selama dia bukan sekedar berhenti pada "teori", tapi benar-benar dipraktekkan. Memang dia dapat ilmunya, tapi tanpa praktek lambat-laun ilmu itu akan lupa. Dia akan rugi waktu, juga uang, bila memang dia berkeinginan bisa mendongeng.

Mendongeng sama saja dengan bertutur, bahkan bergosip pun juga mendongeng. Pada dasarnya semua orang bisa bertutur (baca: mendongeng). Mendongeng juga sering saya analogikan seperti bernyanyi. Untuk mulai bernyanyi di depan anak kita, atau di depan anak-anak tetangga, kita kan tidak harus seperti KD (Kris Dayanti), atau membeli buku-buku dulu? Untuk memulai bernyanyi di depan anak kita, cari nyanyian yang sederhana dan bernyanyilah sebaik mungkin (menurut kita), tanpa berpikir teori.

Sama dengan mendongeng. Mulailah dari cara yang sederhana, seperti membacakan buku dongeng kepada anak, meningkat mendongeng sebelum dia tidur, meningkat lagi mendongeng dengan duduk saat bersantai, dan seterusnya. Carilah cerita yang ada disekitar anak, dari sekolahnya, tempat bermainnya, dll. Saat itu jangan berfikir "teori", justru ini yang akan jadi beban, karena yang dilakukan saat itu sudah bagian dari teori, walau pun mungkin tidak disadari.

Saat itu, mungkin dia akan banyak menerima masukan dari si anak. Dari ceritanya yang tidak dia sukai, hingga penyampaiannya yang kurang tepat dilihat dari tanggapan anak. Di sini pendongeng dituntut untuk berkreasi, bagaimana agar anak tertarik dengan dongengnya: diselingi lagu, tari, memakai boneka, sulap, menirukan suara, berekspresi maksimal, dll. Sekali lagi, jangan berpikir teori dulu. Dan banyaklah belajar dari "guru kita", yaitu si anak atau audien itu sendiri.

Bila sambutan anak-anak telah memuaskan (menurut kita sendiri), cobalah baca buku teori dongeng atau bertukar pengalaman dengan rekan yang sebelumnya telah mendongeng. Di sinilah peran buku sangat penting, demikian juga saran dari si temen pendongeng. Carilah hal-hal yang belum kita lakukan dalam mendongeng melalui buku yang kita buka dan baca, lalu sempurnakan dongeng kita.

Dengan cara ini waktu kita tidak tidak terbuang hanya sekedar berteori, tapi kita telah menjadi bagian dari si pelipur lara "pendongeng" .

Ketika mendongeng, jangan berpikir dengan gaya mendongeng kita, atau meniru pendongeng yang telah ada. Bila meniru, yakinlah kita tidak akan bisa, karena masing-masing orang mempunyai pengalaman berbeda. "Gaya" mendongeng kita akan terbentuk dengan sendirinya, seiring dari kegiatan mendongeng yang kita lakukan. Dan dari cara mendongeng yang menurut kita paling baik, ya itulah "gaya" kita.

Sekali lagi maaf bila kurang berkenan, dan terkesan panjang-lebar saya berteori. Karena Anda seharusnya bukan membaca teori ini, tapiiii..... yoook praktek mendongeng!

Wallahu a'lam bissowab...

Jumat, 08 Agustus 2008

Pentingkah Buku Teori Dongeng?

“Gubraaag…!” Apakah masih ingat, berapakali kita jatuh-bangun ketika belajar mengendarai sepeda? Saya yakin jawabnya beragam, ada yang sering dan ada yang jarang jatuh karena belakang sepeda dipegangi kakak atau orang tua.

Belajar sepeda ini sering saya analogikan dalam belajar mendongeng. Untuk memulai dongeng melalui pengalaman saya -- dan selalu saya tekankan dalam setiap pelatihan dongeng – untuk tidak membaca buku/makalah teori dongeng. Biasanya seseorang usai membaca buku/makalah, selanjutnya:

1- Dia malah akan "takut" mendongeng, karena merasa tidak bisa melakukan dan mempraktekkan seperti yang disarankan dalam buku.

2- Dia makin penasaran tentang dongeng, dan akan mencari referensi buku/bahan lain sebagai perbandingan. Alih-alih dia akan mendongeng, setelah menguasai 'ilmu'-nya dia akan merasa sudah terpuaskan, tapi...ya itu tadi, tak ada praktek dongengnya.

Ada sedikit cerita. Walau nenek saya tidak sekolah dan tak mampu membaca, saya sangat menikmati saat-saat beliau mendongeng. Kunjungan ke rumah nenek, bagi saya merupakan liburan yang selalu ditunggu. Bila nenek telah mendongeng, semua anak –termasuk saya- pasti terpana. Saat itu, dalam hati, nenek saya memang tidak ada duanya.

Memulai mendongeng yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah praktek, praktek, dan…praktek. Niatkan dalam hati untuk mendongeng sebaik-baiknya di depan anak kita, anak tetangga, teman, dan lainnya. “Sebaik-baiknya dongeng” di sini menurut kita sendiri, bukan orang lain. Karena pada dasarnya semua orang bisa bertutur (baca: mendongeng), dan mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai orang lain, tergantung tempaan lingkungan, pengalaman, dan pergaulan.

Sukses atau tidaknya mendongeng, bisa dilihat dari tanggapan anak-anak. Apakah mereka senang, terhibur, atau sebaliknya? Dari tanggapan si kecil inilah kita bisa berbenah dengan berkreasi sehingga untuk mendongeng kedua, ketiga, dan seterusnya akan semakin bagus.

Apalagi, menurut saya, mendongeng tidak ada pakemnya. Maka, tidak usah heran bila melihat para pendongeng ternama di negeri ini cara penyampaiannya beragam. Pak Raden dan Kak Andi Yudha mendongeng sambil melukis. Kak Kusumo biasanya mendongeng dengan peraga orang berkostum katak, burung, dll. Putri Suhendro dengan kelembutan keibuannya. Kak Seto dengan suara wibawa dan lagu-lagunya yang merdu. PM Toh dengan tutur kata khas Acehnya.

Cara penyampaian para pendongeng ternama tersebut merupakan kelebihan mereka, sesuai –seperti yang saya katakana sebelumnya-- tempaan lingkungan, pengalaman, dan pergaulan. Dan kita bisa melakukan, karena kita mempunyai kelebihan yang tidak mereka punyai sesuai pengalaman kita.

Kapan buku/makalah teori dongeng penting bagi pendongeng? Bagi saya sebuah buku teori dongeng akan penting bagi pendongeng, setelah dia praktek beberapa kali mendongeng. Beberapa kali ini tak ada patokannya, yang penting kita merasa anak-anak yang kita dongengi dengan cara kita (sekali lagi “cara kita”) merasa terhibur. Saat itulah kita sudah bisa membaca buku teori mendongeng.

Buku teori dongeng merupakan kumpulan dari pengalaman si penyusun selama dia mendongeng. Setelah kita merasa sukses mendongeng, kita bisa mempelajari kekurangan kita melalui pengalaman si pendongeng/penyusun buku. Saya yakin bila ini kita lakukan, banyak anjuran atau tip-tip mendongeng dari pendongeng telah banyak yang telah kita praktekkan. Beberapa cara mendongeng kita, juga bisa jadi perlu penyempurnaan. Dan juga bisa jadi, dalam praktek mendongeng kita ada kelebihan yang tidak dipunyai si pendongeng.

Maka bila mau mulai mendongeng, merupakan kesalahan bila Anda membaca tulisan saya ini. Karena yang harus Anda lakukan praktek, praktek, dan…(yok kita teriakkan bersama-sama) prakteeek…!!!

Rabu, 06 Agustus 2008

Pesta di Peternakan (Cerita-9)

Hari itu terjadi kesibukan di peternakan. Ya, Kakek Tulus panen. Sejak pagi Bocil Kerbau menarik pedati, mengangkut padi dari sawah. Keluarga merpati dan ayam tentu merasa senang, karena padi tertumpuk bertundun-tundun.

Kesibukan itu berlangsung sampai senja hari. Ketika penghuni peternakan siap tidur, tiba-tiba Kakek Tulus masuk kandang. "Hewan peliharaanku. Mensyukuri panen dan kesembuhan Lintar Merpati, besok malam kita mengadakan pesta!" kata Kakek Tulus. Serentak hewan-hewan bersorak gembira.

Besok harinya, hewan-hewan sibuk berlatih yang akan ditampilkan di pesta. "Wah, saya tak bisa konsentrasi. Nanti malam saya ingin cantik," kata Boni Ayam. Kepada Lintar Merpati yang hinggap dekat situ, ia berkata, "Lintar, kamu ke hutan dong. Pinjemin saya pada burung merak beberapa helai bulunya, untuk mahkotaku."

Tak mau kalah, si Gembul Kambing juga punya permintaan, "Saya pinjamkan jubah pada kuda zebra. Bila kukenakan, wuih...pasti saya gagah."

"Jangan lupa, saya mintakan ramuan pada buyutku ayam hutan, agar suaraku makin nyaring saat bernyanyi di pesta?" pesan Jago si ayam jantan.

Si Lintar jadi terbengong. "E eee...! Kenapa semua bingung. Dalam pesta kita tak perlu berlebih-lebihan. Kita tampil apa adanya," kata Bocil. "Buat baju dari benda-benda di sekitar kita. Penonton lebih melihat pertunjukan dari pada baju."

"Panggungnya gimana?" tanya Moli Kera. "Mmm...kenapa tak menjadikan punggungku sebagai panggung?" kata Bocil. Semua hewan menyetujuinya.

Malam hari di depan peternakan terlihat meriah. Beberapa obor dinyalakan, terlihat indah menimpali sinar bulan purnama. Di atas balai-balai bambu, Kakek Tulus dan Suci menunggu aksi peliharaannya. Hanya saja, mereka ada dimana ya?

"Moooh!" teriak Bocil membuka pintu kandang memulai pertunjukan. Diawali dengan akrobat putar wortel oleh Cici Kelinci di punggung Bocil yang jadi panggung dadakan. Disusul Moli yang main drama bersama Embek dan Gembul. "Terus teruuus...!" teriak Kakek Tulus.

Bersamaan dengan itu rombongan kunang-kunang datang membuat formasi kembang api di angkasa. Hewan kecil pembawa lampu itu diam-diam diundang Gembul untuk pesta. Ia juga mendatangkan pemusik penghuni sawah, katak dan jangkerik.

Pesta makin meriah karena hewan-hewan mengenakan baju lucu-lucu. Penonton makin kagum melihat koor ayam-ayam cilik, mengiringi si penyanyi Jago dan Boni. Tiba-tiba, wow...lihat di angkasa! Lintar bersama teman-teman merpatinya terbang beratraksi seperti kapal terbang, di sela kunang-kunang.

Pertunjukan diakhiri dengan nyanyi bersama diiringi katak dan jangkerik. "Pertunjukan bagus. Sederhana tapi meriah!" puji Kakek Tulus yang berdiri diantara peliharaannya sambil bertepuk-tangan. "Terimakasih semuanya. Sekarang kembali ke kandang, dan...tidur yang nyenyak," kataya mengakhiri malam yang indah penuh kenangan itu.

Nasehat Kakek Tulus:

Keceriaan dan kesenangan tidak selalu harus dalam kemewahan. Dengan kebersamaan dan dalam kesederhanaan, serta selalu bersyukur kepada Tuhan, kita juga mampu mendapatkan kebahagiaan.

Karya Kakak bersama rekan di KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Kembali Terbang (Cerita-8)

Pagi itu udara terasa segar. Kupu-kupu bersayap indah bermain di bunga melati dan kemuning yang mekar di depan rumah Kakek Tulus. Saat itu semua mata hewan peternakan tertuju pada Lintar si Merpati yang keluar dari rumah. Ya, akibat pertarungan dengan elang, Lintar terluka. Sayapnya patah dan harus diperban.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bocil Kerbau saat diajak Kakek Tulus menarik pedati ke sawah, untuk melihat padi yang akan dipanen besok.

"Oh, sudah agak baikan," kata Lintar.

"Lintar, sayapmu sakit? Boleh nggak saya bantu membersihkannya? tanya Cimot.

"Terimakasih kelinci cantik. Lukanya sudah dibersihkan dan diobati oleh Suci kok," kata Lintar tersenyum.

Sejak itu merpati malang itu tidak bisa terbang. Setiap hari ia diajak Boni Ayam berjalan-jalan agar tetap segar. Terkadang Lintar meringis sakit, saat si ayam kecil yang lucu-lucu melompat gendong, mengajak bermain.

Setelah beberapa hari, perban di sayap Lintar dilepas. "Syukur kalau sudah sembuh," kata Moli Monyet senang. Tapi nanti dulu. Merpati itu mencoba terbang, tapi tidak bisa. Dicoba lagi, dan lagi...tetap tak bisa!

Teman-teman Lintar sesama merpati merasa kasihan. Mereka yakin Lintar tak bisa terbang lagi! "Sudahlah Lintar...terima saja kalau kamu sekarang berjalan di darat," nasehat merpati pos.

"Iya, sabar ya," timpal merpati lain.

"Terimakasih perhatiannya. Saya harus bisa terbang, harus...! Karena saya burung!" kata Lintar optimis. Setiap hari, Lintar berusaha terbang. Kadang ia melompat terbang dari atas punggung Bocil, batu, pagar, juga jendela. Hasilnya? Tetap gagal. Bahkan bulu-bulunya rontok, dan tubuhnya kotor oleh keringat serta debu.

Melihat perjuangan Lintar, akhirnya hewan lain juga mendorongnya. Walau dalam hati mereka tak yakin ia bisa terbang kembali.

Kini Kakek Tulus juga membantu Lintar belajar terbang. Ia pegang si merpati, lalu dilempar ke udara. Awalnya rendah, lalu tinggi, dan semakin tinggi. "Ayo jagoanku. Kamu bisa terbang," teriak Suci.

"Terbang! Terbang! Terbang...!" teriak penghuni peternakan bersama-sama memberi semangat.

Ajaib. Teriakan itu membuat Lintar mulai bisa terbang. "Hoi, saya bisa terbang lagiii," kata Lintar. Tapi, bruuuus...grosak. Ia menabrak semak. Kakek Tulus mengambil dan bertanya, "Lintar, kamu siap kalau saya lempar setinggi-tingginya...!

"Ku kur, ku kuuur! Saya siap...!" kata Lintar yakin.

Semua hewan berhitung, "Satu dua tiga...lempaaar!."

Lintar dilempar tinggi ke udara. Ia mengepak-ngepak sayap, agak goyah. Semua hewan tegang. Dan...Lintar benar-benar melesat terbang!

"Horeeee...!" teriak hewan-hewan gembira. Beberapa hewan sampai menitikkan air mata, terharu. Sebagian berlompatan sambil berpelukan. Semua bersyukur, Lintar bisa terbang lagi.

Nasehat Kakek Tulus:

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Jangan takut terhadap kegagalan. Dan hanya dengan kegigihan serta semangat yang pantang menyerah, kita akan mampu bangkit untuk dapat meraih cita-cita kita.

Karya Kakak bersama rekan di KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Bahaya dari Langit (Cerita-7)

Pagi itu sangat istimewa! Ada tujuh keluarga baru di peternakan. Ya, telur-telur yang dierami Boni si ayam betina semua menetas. “Piyek...piyek...piyek,” seru ayam-ayam kecil yang lucu minta dipeluk induknya. Karena berjumlah banyak, Boni sering kewalahan. Untung Jago si ayam jantan selalu mendampinginya.

“Ayo, anak-anak berbaris ya. Saya mau mengenalkan kamu pada hewan lain,” kata Boni.

“Selamat ya Bon. Anakmu sehat-sehat,” kata Moli Monyet yang lincah sambil melompat-lompat gembira.

“Terimakasih,” jawab si induk ayam sambil memimpin anak-anaknya berkeliling kandang.

“Mooo...kita punya keluarga baruuu,” Bocil Kerbau melenguh keras memberitau hewan-hewan lain.

“Halo adik-adik baruku. Idih, kamu semua menggemaskan,” seru Cici Kelinci membelai ayam-ayam kecil itu satu persatu. Wajah Jago terlihat kelelahan, tapi ia sangat bahagia.

“Nah, kamu sudah kenal semua hewan kan?” tanya Boni pada anak-anaknya.

“Piyek, piyek...piyek,” jawab mereka serentak.

“Sekarang, kita keluar kandang untuk berjemur. Sinar matahari di pagi hari sangat menyehatkan,” kata Boni menggiring mereka keluar.

Ayam-ayam kecil itu kegirangan. Mereka berlari ke sana-ke mari.

“Kukur kukuuur...,” sambut Lintar Merpati dari atas tempat tinggalnya turut senang.

“Kluk kluk kluk...! Anak-anak, lihat nih...ibu dapat cacing,” panggil Boni. Segera sebagian anak ayam berebut cacing itu, yang lain tetap asyik bermain.

Tiba-tiba di langit berkelebat bayangan hitam. Apa itu?

“Mbeek! Mbeeek! Bahaya, ada burung elang! Anak-anak ayam, berlinduuung...!,” teriak Gembul Kambing.

“Petok petok!,” kata Boni memanggil. Ayam-ayam kecil itu berteriak-teriak kebingungan. Sebagian langsung berlindung di bawah sayap induknya, ada yang sembunyi di samping batu besar, tapi ada juga yang tak tau apa yang harus dilakukan.

Terlambat. Elang besar itu menukik, menyambar salah satu anak ayam dan dibawa terbang. Tapi dari sisi kanan, seekor burung menabrak si elang. “Lihat...! Lintar berusaha menyelamatkan ayam kecil,” teriak Jago.

Karena diganggu, si elang mencakar Lintar. Sehingga pegangan pada ayam kecil lepas, dan jatuh ke bawah. Induk ayam segera menyelamatkan anaknya.

Tak mau melepas mangsanya, elang kembali berusaha menyambar anak ayam. Malang. Di bawah, Gembul dan Jago ternyata sudah siap menyambut. Dan segera mereka mengeroyok si elang. “Kaaaak...!” teriak elang kesakitan terbang menjauh. “Ia pasti jera kembali ke peternakan,” pikir Manis si Kucing yang bersembunyi di depan rumah.

Di depan peternakan semua hewan bersorak kemenangan. Tapi, di mana si pahlawan Lintar? “Teman-teman, Lintar terluka!,” teriak Cici dari bawah pagar. “Manis...tolong panggil Suci ya!”

Tak lama, Suci datang bersama Manis. Burung merpati itu dibawa Suci ke dalam rumah untuk dirawatnya.

Nasehat Kakek Tulus:

Keberanian untuk selalu membela kebenaran adalah cermin dari jiwa kesatria, dan merupakan sikap yang patut dicontoh.

Karya Kakak bersama rekan-rekan KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Semua Kesiangan (Cerita-6)

Sinar matahari mulai memanasi peternakan kecil Kakek Tulus. Hari beranjak siang. Kicau burung di pepohonan sudah tak terdengar. Tapi, kenapa di peternakan tetap tenang. Di mana hewan-hewan?

Tiba-tiba... “Kukuruyuk! Kukuruyuuuk! Bangun teman-teman! Kita kesiangan...ayo banguuun!” teriak Jago si ayam jantan memecah keheningan.

Terjadi keributan di kandang. “Oooah, kok matahari sudah panas. Wah...rumput di kebun nggak segar lagi. Gembul, bangun!” kata Embik Kambing.

“Aduh, saya terlambat mencari vitamin untuk telur-telurku,” gerutu Boni si ayam betina turun dari sarangnya.

“Yah...pasti saya ditinggal Kakek Tulus. Hari ini seharusnya saya mulai membajak sawah...!,” keluh Bocil si kerbau cilik.

“Kenapa kita kesiangan? Jago...kenapa kamu terlambat membangunkan kita?” cecar Moli si monyet tua. Hewan-hewan lain juga ikut menyalahkan Jago, termasuk Boni istrinya.

Jago diam. Ia meringkuk di pojok kandang. Matanya memerah, tanda masih mengantuk. “Pak Jago sakit ya?,” kata Cici Kelinci melompat-lompat mendekati Jago.

“Tidak. Maaf teman-teman...semalam saya tidur larut malam, sehingga bangun kesiangan. Saya nggak ngira kalo semua juga jadi kesiangan,” kata Jago menyesal.

“Kok bisa tidur kemalaman?” tanya Bocil.

“Nggg...anu, ngg...,” jawab Jago ragu-ragu.

“Oh saya tahu! Semalam waktu buang air, saya melihat Jago menari di samping kandang,” kata Gembul.

“Haai...Pak Jago belajar menari,” teriak Cici melompat-lompat tertawa. Jago mukanya merah, merasa malu diketahui teman-teman.

“Benar begitu Jago?” tanya Boni tak percaya.

“Jago, kamu menari?” desak Bocil.

“Be-benar. Diam-diam saya belajar tari dari Moli. Tapi karena sudah tua, saya malu mempraktekkannya siang hari. Saat teman-teman tidur, baru saya latihan,” jelas Jago.

“Wah...kenapa harus malu? Kalau belajar, nggak perlu malu. Dari pada kemalaman dan merugikan teman-teman yang lain...hayooo,” kata Moli sambil bergelayutan pada tali di atas Jago.

“Maafkan ya teman-teman. Saya janji nggak kesiangan lagi...,” kata Jago. Semua hewan di peternakan memaafkan Jago. Mereka juga senang, karena Jago belajar menari. Sehingga peternakan semakin ceria.

Hari itu Jago juga mendapat pelajaran berharga. Sesibuk apapun, ia tak akan terlambat menjalankan tugasnya...membangunkan keluarganya di peternakan. Karena bila terlambat lagi? “Hih, jangan sampai deh. Peternakan bisa ribut lagi...dan saya bakalan mendapat omelan teman-teman,” kata Jago.

Nasehat Kakek Tulus:

Salah satu kedisiplinan diri adalah kita bangun tepat waktu, sehingga kita dapat memanfaatkan waktu kita dengan sebaik-baiknya.

Karya Kakak bersama rekan-rekan KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Akrobat Wortel (Cerita-5)

Kakek Tulus menambah rumah-rumahan di kandang untuk tempat tinggal Moli Monyet. Sejak ia berada di peternakan, banyak hewan ingin belajar akrobat. Salah satunya Cici Kelinci. Ia setiap hari belajar akrobat memutar tiga wortel di dua tangan. “Hup...hup...hup...!” serunya saat memutar wortel.

“Huuh, jatuh lagi...jatuh lagi,” kata Cici saat gagal.

“Nggak papa. Ulangi dan coba tirukan saya, tu wa ga,” kata Moli memberi contoh. Walau kelinci sering mengeluh, Moli tak bosan mengajari. Akhirnya, Cici mulai pintar berakrobat wortel.

Hari itu Cici pamer kepada Embik dan Gembul Kambing di kandang. Hewan yang lain sudah lama pergi mencari makan. “Teman, lihat nih...,” katanya mulai memutar wortel.

“Cici, kalau berakrobat di luar kandang,” kata Moli.

“Sebentar saja. Biar Embik dan Gembul tau, kalo aku sudah bisa,” jawab Cici.

“Iya...tapi di luar,” desak Moli.

“Empat putaran lagi Mol...,” kata-kata Cici terpenggal karena kakinya terpeleset genangan air.

Wortel-wortel di tangannya terpental. “Siuuut...prakk!” Tak disangka, wortel jatuh di tempat telur-telur ayam dan memecahkan satu telur. Semua hewan terbengong. “Yah...gimana nih?” tanya Cici bingung.

Moli tak menjawab, hanya garuk-garuk kepala. “Wah, Boni dan Jago Ayam pasti marah,” kata Embek. “Taji di kaki Jago kan tajam. Hiiih, takut!”

“Kamu bersembunyi saja, biar tak dimarahi Jago,” tambah Gembul.

Dari kejauhan terdengar Boni dan Jago balik ke kandang. Cici tubuhnya gemetar. Hewan lain turut kebingungan. Akhirnya Cici bersembunyi dan lainnya tetap di kandang, seolah tak terjadi apa-apa. Saat melihat telurnya pecah, Boni berteriak keras “Petok...petok...petok! Siapa memecahkan telurku!”

Mendengar itu Cici ketakutan. Hewan di kandang semua diam. “Yang memecahkan kamu ya Gembul? Atau Embik...atau kamu Moli?” tanya Jago marah.

“Kasihan teman-teman. Saya yang berbuat, mereka yang kena marah. Kalau saya diam, tentu berdosa. Kan saya yang salah,” kata Cici di tempat persembunyian.

“Hanyo siapa...!” kata Jago kepada hewan-hewan.

Dari balik tumpukan jerami, Cici keluar gemetaran. “Kenapa kamu?” bentak Jago.

“Ma-maaf, saya sal-salah. Saya yang memecahkan, bukan mereka...,” kata Cici terbata-bata. Sebelum bertindak, Boni membisiki Jago.

“Pak Jago dan Bu Boni...saya siap dihukum,” kata Cici tundukkan kepala.

Yang mengherankan, Jago tidak marah...tapi malah tersenyum. “Saya salut, kamu berani bersikap jujur. Kata Boni istriku, yang kamu pecahkan sebenarnya telur rusak atau tak bakal jadi anak ayam,” tutur Jago.

Cici hatinya senang. “Tapi kamu tetap salah, karena merusak barang hewan lain. Jadi, hukumanmu menyediakan makanan untuk Boni selama mengerami telur...?” kata Jago si ayam jantan.

Hewan-hewan lega. Cici bersyukur, karena kejujurannya ia tak dihukum berat. Tapi ia berjanji, tidak akan bermain di dalam kandang lagi dan mematuhi anjuran teman.

Nasehat Kakek Tulus:

Setiap manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Menjunjung tinggi kejujuran apa pun resikonya adalah perbuatan yang mulia.

Karya Kakak bersama rekan-rekan KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Topeng Monyet (Cerita-4)

“Dung...dung...dung.” Hari itu Babah Ong pemilik toko kelontong, mengundang topeng monyet menggelar pertunjukan. Suci dan anak-anak desa senang sekali. Mereka melihat moyet berakrobat, memainkan berbagai permainan.

“Si Moli pergi ke pasar!” teriak Pak Yadi pemilik topeng monyet. Monyet bercelana rumbai-rumbai itu segera mengambil payung dan tas kecil, lalu berjalan berkeliling. Anak-anak tertawa senang. “Si Moli merias diri,” teriak Pak Yadi. Kembali si monyet mengaca sambil duduk di kursi kecil.

Di sela kegembiraan anak-anak, Suci melihat si Moli Monyet sering mogok main karena kelelahan. Pak Yadi menyentak rantai yang diikat di tubuh monyet. Terpaksa Moli kembali beraksi. “Pak...pak, monyetnya kecapekan tuh!” teriak Suci.

Pak Yadi tak menggubris. Ia terus memerintah Moli. Padahal hewan itu terlihat makin lemas. “Dasar monyet tua! Ayo main terus...” perintah Pak Yadi.

Sampai suatu saat, tiba-tiba Moli roboh. “Heh, berdiri...!” teriak Pak Yadi. Tapi si monyet tidak bisa berdiri lagi.

Anak-anak mulai bubar, tak tega melihat Moli. “Bangun...! Kalo nggak saya buang kamu...” ancam Pak Yadi. Tetap, Moli tak mau berdiri.

Tiba-tiba Suci maju ke depan. “Pak, dari pada dibuang... Mmm, boleh nggak si Moli saya pelihara?” katanya memberanikan diri.

“Nih...ambil. Sudah lama saya mau ganti monyet tua ini dengan yang lebih muda,” kata Pak Yadi merapikan alat-alatnya untuk pergi.

Wajah Suci berbinar senang. Ia segera membopong Moli ke rumah, dan merawatnya dengan baik bersama Kakek Tulus. Rantai di tubuhnya ia buang, dan dengan sabar setiap hari Suci menyuapi hewan malang itu.

Suatu pagi. “Kakek, si Moli sudah bisa berdiri...!” teriak Suci. Kakek Tulus senang melihat perkembangan Moli. “Meong, saya Manis. Kamu siapa?” kata Manis di samping ranjang monyet. “Saya Moli...,” jawabnya.

Suci memperkenalkan Moli kepada hewan-hewan peternakan. Mereka bahagia karena Moli suka menghibur. Bahkan Gembul Kambing sering tertawa sampai terduduk melihat akrobat si Moli.

Suatu ketika, saat Moli beraksi di kandang hewan, Suci menghentikannya. “Moli...kamu sudah kembali lincah dan sehat. Saya tak menghalangi kamu kalo mau pergi meninggalkan peternakan,” kata Suci sedih.

“Yah...jangan dong,” kata Cici Kelinci.

“Kamu nggak boleh pergi. Tetap di sini,” protes Jago Ayam.

Melihat hewan-hewan ribut, Suci paham mereka tak rela melepas Moli monyet. “Kita tak bisa melarang. Semua terserah Moli,” katanya.

Sambil berbunyi, “Nguk nguk nguk...!” Moli menghampiri hewan lain dan memeluk mereka. “Ha, jadi kamu memilih tinggal di peternakan?” tanya Suci senang sambil mengelus kepala Moli. Hewan-hewan bersorak senang menyambut keluarga baru di peternakan.

Nasehat Kakek Tulus:

Anak-anakku, perlu bagi kita untuk selalu memperhatikan dan membantu orang lain yang dalam kesusahan serta membutuhkan pertolongan.

Karya Kakak bersama rekan-rekan KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Maaf ya Manis...! (Cerita-3)

Hari itu awal sekolah setelah liburan. Suci berangkat sekolah, sesaat setelah Kakek Tulus pergi ke sawah. Belum jauh dari rumah, Suci menemukan anak burung menciap-ciap di atas tanah. “Ciap...ciap...ciap...!” teriak burung yang baru tumbuh bulu-bulunya itu.

“Hai burung cantik. Kamu pasti jatuh dari sarang,” kata Suci setelah menangkapnya. “Kamu mau kembali ke sarang? Di mana sarangmu?” ujar Suci sambil melihat ke pohon di sekelilingnya, mencari sarang induk burung. Tapi ia tidak menemukannya.

“Ya sudah. Kamu di rumahku dulu aja ya...! Sepulang sekolah, kita cari lagi sarangmu,” kata Suci. Sampai di rumah, “Meong meong...!” sambut Manis si Kucing dengan mengusap-usap kaki Suci.

“Manis, mainnya nanti. Saya tergesa-gesa nih...,” kata Suci.

Ia segera mencari kain dan merapikannya. “Nah burung, kamu istirahat di sini,” kata Suci menaruh burung kecil di atas tumpukan kain. “Manis...kamu jaga ya si burung kecil.”

“Meong meooong...,” jawab Manis.

“Pintar kucingku yang manis. Jaga baik-baik ya...!” kata Suci sambil berlari ke sekolah, khawatir terlambat.

Sepanjang pelajaran, Suci gelisah. Ani temannya sampai heran. “Suci...kenapa sih? Nggak biasanya kamu begini?” tanyanya.

“Eh, gini An...tadi pagi saya nemu burung kecil. Sebelum ke sekolah, saya titipkan pada si Manis kucingku,” kata Suci.

“Gimana sih kamu. Nanti kalo dimakan kucingmu gimana?” kata Ani.

“Ya itu yang saya cemaskan...?” jawab Suci gelisah.

“Teng...teng...teng...!” lonceng berbunyi tanda pulang sekolah. “Horeeee...! teriak anak-anak. Suci ditemani Ani segera berlari ke rumah. Terus berlari...dan berlari.

Sampai rumah Suci segera membuka pintu “Braaak...” Benar, si burung tidak ada di tempat! “Di mana burung kecilku? Manis di mana kamu? Maniiis...” teriaknya cemas. Dari atas jendela Manis melompat turun, dan dengan manja mengusap-usap kaki Suci.

Dengan kasar Suci memegang Manis. “Burungnya kamu makan ya? Ayo ngaku!”

“Meong meong...,” jawab Manis menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu memakannya kan? cecar Suci mau menangis.

“Meong...meooong!” kata Manis tetap menggelengkan kepala sambil menarik tali sepatu.

“Sabar Suci. Lihat...kucingmu menarik-narik tali sepatumu, mungkin mengajak kita mengikutinya,” kata Ani.

Lalu Manis berjalan ke samping rumah. Suci dan Ani segera mengikutinya. Ternyata di samping rumah si burung kecil sedang disuapi seekor burung kutilang. “Oh burung kecil, kamu sudah ketemu indukmu ya?” kata Suci gembira. Dipandu kutilang, akhirnya anak burung itu bisa dikembalikan Suci ke sarangnya.

Suci menyesal telah menuduh Manis. “Maafkan Suci ya Manis. Kamu kucing yang paaaling bertanggung-jawab.”

“Meong...!” jawab Manis di pangkuan Suci, seolah tak terjadi apa-apa.

Nasehat Kakek Tulus:

Nah anak-anak, jagalah tugas yang telah diberikan dengan penuh tanggung-jawab agar kalian menjadi anak yang dipercaya.

Karya Kakak bersama rekan-rekan KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Gara-gara Rumput (Cerita-2)

Langit di Timur memerah saat fajar tiba. Di atas pagar, Jago mengepakkan sayap. “Kukuruyuuk...!” teriaknya membangunkan hewan di peternakan.

“Bangun semua. Jangan malas di hari yang indah ini! Banguuun...!”

Pagi itu Kakek Tulus sengaja tak pergi ke sawah, untuk memperbaiki kandang. Dibantu Suci cucunya yang cantik, ia memotong beberapa ruas bambu untuk mengganti kayu-kayu kandang yang rusak. “Asyiiik!” teriak Suci melihat kakeknya bekerja sambil bernyanyi mengikuti suara dari radio yang digantung di pagar. Hewan-hewan juga ikut tertawa senang. Siang hari, kandang baru telah selesai. Pekerjaan berat itu jadi ringan karena dikerjakan dengan santai.

“Kuuur...tu tu tu! teriak Kakek Tulus memanggil ternaknya. Hewan-hewan segera berlarian ke kandang. “Makan yang kenyang ya. Biar sehat,” kata Kakek Tulus sambil menaruh rumput segar untuk kerbau, kelinci dan dua kambingnya. Sedangkan Suci menabur biji jagung untuk ayam dan merpati.

Saat semua menikmati makanan. Tiba-tiba di pojok kandang Embik dan Gembul Kambing ribut, saling Lintarng. “Hei, makan yang baik!” bentak Kakek Tulus. Keduanya kembali tenang. Tapi ketika Kakek Tulus dan Suci meninggalkan kandang, dua kambing itu kembali bertengkar. Bahkan lebih hebat, mereka saling menanduk!

“Kamu merusak rumahku,” kata Cici Kelinci saat Gembul jatuh menimpa kandangnya, ditanduk Embik. Gembul bangkit dan berusaha membalas. Saat Embik menghindar, tanduk Gembul mengenai penyangga tempat tinggal Lintar si Merpati. “Berhentiii,” teriak Lintar. Karena tak digubris, Cici dan Lintar minta bantuan Bocil untuk melerai dua kambing itu. Dengan cepat Bocil memisah Embik dan Gembul dengan berdiri di tengahnya.

“Kenapa kamu berdua bertengkar?” tanya Bocil.

“Embik mengambil rumputku...!” jawab Gembul.

“Bukan, ia yang ngambil...!” kata Embik ketus.

“Kamu yang ngambil...,” balas Gembul.

“Kamu...!” teriak Embik.

“Sudah, diam! Biarkan aku berpikir,” kata Bocil.

Ketika melihat kandang kambing, Bocil tahu masalahnya. Kakek Tulus membuat hanya satu wadah rumput, sehingga mereka saling berebut rumput. “Aha, aku punya ide!” seru Bocil. Ia mengambil lidi dan papan yang terserak di kandang. Embik dan Gembul tegang, khawatir Bocil menghukum mereka. “Biar nggak berebut, kita bagi wadah rumput ini,” kata Bocil.

Dengan cekatan kerbau bijak itu membagi wadah dengan lidi sebagai alat pengukur. Setelah mendapat ukuran yang pas, ditengahnya diberi papan. “Embik hanya boleh makan rumput di kiri papan, dan Gembul di kanan papan,” jelasnya. Dua kambing itu setuju, dan senang dengan cara penyelesaian Gembul.

Embik dan Gembul menyesal atas pertengkaran tadi. Apalagi mereka saudara. Mereka pun minta maaf kepada teman-temannya, terutama Cici dan Lintar yang dirugikan. Malam itu mereka tidur berdampingan. Bahagia rasanya bisa rukun kembali.

Nasehat Kakek Tulus:

Anak-anakku, penting bagi kita untuk selalu memperhatikan hak-hak orang lain tanpa harus disertai perasaan menang atau kalah. Semuanya itu didasarkan pada rasa dan semangat keadilan.

Karya Kakak bersama rekan di KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Terjebak di Kandang (Cerita-1)

Hari yang cerah. Dari peternakan kecil di desa dekat kaki Gunung Wilis, Kakek Tulus ditemani Suci cucunya ke sawah dengan riang gembira. Di sekitar rumah, hewan-hewan peliharaannya tak kalah gembira. Mereka bermain, berlarian, juga menikmati hangatnya sinar matahari.

Tapi menjelang siang, awan hitam menutup langit dan angin bertiup kencang. “Moooh, mau turun hujan. Kembali ke kandang,” teriak Bocil Kerbau. Lalu...brees, hujan turun lebat. Untung, semua hewan sudah masuk kandang.

Hujan makin lebat. Angin kencang membuat jendela berderak. Karena takut, Cici Kelinci merapatkan tubuhnya kepada Boni si Ayam Betina yang sedang mengerami delapan telur. Cici makin ketakutan saat terdengar suara keras dari atas kandang.

“Selamatkan dirimu. Ada pohon mau rubuh!” teriak Lintar Merpati dari tempat tinggalnya di depan kandang.

Semua hewan berlari berhamburan keluar kandang. Tiba-tiba, kraaak...bruuuk! Ternyata dahan pohon tua yang melintang di atas kandang patah, dan menimpa kandang. Hewan-hewan bersyukur bisa selamat. Tapi nanti dulu, coba dengar...“Tolooong!”. Siapa ya yang minta tolong dari balik kandang roboh?

“Jago dan Boni Ayam terjebak di dalam,” teriak Bocil. “Mereka tak lari karena menjaga delapan telurnya. Teman-teman, cepat bantu mengeluarkan mereka.”

Hewan-hewan mulai menyingkirkan puing-puing bangunan. Bocil, Embek dan Gembul Kambing mengangkat puing yang besar-besar. Sedangkan Cici Kelinci dan Lintar Merpati memilih puing kecil. Manis si Kucing yang tiggal di rumah Kakek Tulus turut membantu.

Ternyata tak mudah. Sampai hujan reda, mereka terus berusaha menyelamatkan dua rekannya itu. “Jago, Boni...kamu nggak papa kan? Sabar ya...” kata Cici menghibur temannya dari sisi reruntuhan.

“Nggak papa teman. Delapan telur kami juga utuh,” jawab Boni.

Petang menjelang, dan mereka masih harus menyingkirkan dahan pohon. “Ayo tinggal sedikit. Mari kita tarik bersama-sama,” kata Bocil mengomandani teman-temannya. “Satu...dua...tigaaa...!” Sayang, dahan itu hanya tergeser sedikit karena berat. Untung saat itu Kakek Tulus dan Suci pulang dari sawah. Mereka segera membantu menyelamatkan ayam dengan memotong-motong dahan.

Akhirnya semua reruntuhan tersingkir. Kakek Tulus segera mengeluarkan Jago dan Boni. Sedangkan Suci mengambil telur-telurnya. Kakek Tulus gembira melihat hewan-hewan miliknya selamat. “Ayo semua ternak berkumpul. Kita ke rumah!”

Bulan bintang bersinar terang di langit. Malam itu hewan peternakan beristirahat di samping rumah berselimut jerami. Jago dan Boni juga sudah sehat kembali setelah di beri biji-bijian oleh Kakek Tulus. “Terimakasih teman-teman. Karena kamu, aku bisa mengerami telur-telurku kembali,” kata Boni. Tapi sepertinya ucapan induk ayam itu tidak didengar, karena semua sudah tertidur lelap kecapekan.

Nasehat Kakek Tulus:
Nah anak-anak, segala kesulitan yang terjadi dapat dilalui dan diatasi dengan mudah jika kita mau bahu-membahu dan saling tolong menolong, serta tidak membeda-bedakan satu sama lainnya.

Karya Kakak bersama rekan-rekan KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)