Jumat, 08 Agustus 2008

Pentingkah Buku Teori Dongeng?

“Gubraaag…!” Apakah masih ingat, berapakali kita jatuh-bangun ketika belajar mengendarai sepeda? Saya yakin jawabnya beragam, ada yang sering dan ada yang jarang jatuh karena belakang sepeda dipegangi kakak atau orang tua.

Belajar sepeda ini sering saya analogikan dalam belajar mendongeng. Untuk memulai dongeng melalui pengalaman saya -- dan selalu saya tekankan dalam setiap pelatihan dongeng – untuk tidak membaca buku/makalah teori dongeng. Biasanya seseorang usai membaca buku/makalah, selanjutnya:

1- Dia malah akan "takut" mendongeng, karena merasa tidak bisa melakukan dan mempraktekkan seperti yang disarankan dalam buku.

2- Dia makin penasaran tentang dongeng, dan akan mencari referensi buku/bahan lain sebagai perbandingan. Alih-alih dia akan mendongeng, setelah menguasai 'ilmu'-nya dia akan merasa sudah terpuaskan, tapi...ya itu tadi, tak ada praktek dongengnya.

Ada sedikit cerita. Walau nenek saya tidak sekolah dan tak mampu membaca, saya sangat menikmati saat-saat beliau mendongeng. Kunjungan ke rumah nenek, bagi saya merupakan liburan yang selalu ditunggu. Bila nenek telah mendongeng, semua anak –termasuk saya- pasti terpana. Saat itu, dalam hati, nenek saya memang tidak ada duanya.

Memulai mendongeng yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah praktek, praktek, dan…praktek. Niatkan dalam hati untuk mendongeng sebaik-baiknya di depan anak kita, anak tetangga, teman, dan lainnya. “Sebaik-baiknya dongeng” di sini menurut kita sendiri, bukan orang lain. Karena pada dasarnya semua orang bisa bertutur (baca: mendongeng), dan mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai orang lain, tergantung tempaan lingkungan, pengalaman, dan pergaulan.

Sukses atau tidaknya mendongeng, bisa dilihat dari tanggapan anak-anak. Apakah mereka senang, terhibur, atau sebaliknya? Dari tanggapan si kecil inilah kita bisa berbenah dengan berkreasi sehingga untuk mendongeng kedua, ketiga, dan seterusnya akan semakin bagus.

Apalagi, menurut saya, mendongeng tidak ada pakemnya. Maka, tidak usah heran bila melihat para pendongeng ternama di negeri ini cara penyampaiannya beragam. Pak Raden dan Kak Andi Yudha mendongeng sambil melukis. Kak Kusumo biasanya mendongeng dengan peraga orang berkostum katak, burung, dll. Putri Suhendro dengan kelembutan keibuannya. Kak Seto dengan suara wibawa dan lagu-lagunya yang merdu. PM Toh dengan tutur kata khas Acehnya.

Cara penyampaian para pendongeng ternama tersebut merupakan kelebihan mereka, sesuai –seperti yang saya katakana sebelumnya-- tempaan lingkungan, pengalaman, dan pergaulan. Dan kita bisa melakukan, karena kita mempunyai kelebihan yang tidak mereka punyai sesuai pengalaman kita.

Kapan buku/makalah teori dongeng penting bagi pendongeng? Bagi saya sebuah buku teori dongeng akan penting bagi pendongeng, setelah dia praktek beberapa kali mendongeng. Beberapa kali ini tak ada patokannya, yang penting kita merasa anak-anak yang kita dongengi dengan cara kita (sekali lagi “cara kita”) merasa terhibur. Saat itulah kita sudah bisa membaca buku teori mendongeng.

Buku teori dongeng merupakan kumpulan dari pengalaman si penyusun selama dia mendongeng. Setelah kita merasa sukses mendongeng, kita bisa mempelajari kekurangan kita melalui pengalaman si pendongeng/penyusun buku. Saya yakin bila ini kita lakukan, banyak anjuran atau tip-tip mendongeng dari pendongeng telah banyak yang telah kita praktekkan. Beberapa cara mendongeng kita, juga bisa jadi perlu penyempurnaan. Dan juga bisa jadi, dalam praktek mendongeng kita ada kelebihan yang tidak dipunyai si pendongeng.

Maka bila mau mulai mendongeng, merupakan kesalahan bila Anda membaca tulisan saya ini. Karena yang harus Anda lakukan praktek, praktek, dan…(yok kita teriakkan bersama-sama) prakteeek…!!!

Tidak ada komentar: