Senin, 11 Agustus 2008

Pentingkan Buku Teori Dongeng? (jilid-2)

Maaf jika posting saya di milis Pendongeng tentang "Pentingkah Buku Teori Dongeng?", yang juga saya masukkan di blog-sebelum tulisan ini, kesannya sombong. Sebenarnya bukan itu maksud saya, tapi pancingan untuk berdialog - saling tukar pengalaman. Dan ini semoga menjadi masukan berharga bagi siapa saja yang peduli dengan dongeng dan berkeinginan untuk mendongeng.

Sepengetahuan saya, saat ini banyak kegiatan, pekerjaan, hingga cita-cita yang berhenti pada teori. Tahu cara terbaik melakukan sesuatu, setelah belajar, membaca banyak referensi, atau bertanya kesana-kemari, tapi tanpa ada tindaklanjut: praktek.

Seorang teman di Depok pernah ingin mendirikan restoran. Sebenarnya dia sudah mempunyai konsep yang matang, mengingat dia alumnus perguruan tinggi ternama jurusan tataboga, tapi dia tidak yakin. Beragam buku dia kumpulkan dan baca, dari masakan favorit, manajemen restoran, tata bangunan restoran, cara penyajian hidangan yang baik, hingga kisah sukses para pengusaha makanan. Tidak cukup dengan itu, dia pun ikut berbagai kursus tataboga yang diperkirakan sesuai dengan kelanjutan cita-citanya.

Sampai suatu saat, dia bilang pada saya, "Saya capek. Saya ingin mendirikan restoran...tapi sekarang saya jadi ragu-ragu untuk melanjutkannya. " Saat dia bilang begitu, seorang teman lainnya yang ada di situ hanya bilang, "Kenapa tidak langsung kamu lakukan?"

Seolah dia dihentakkan oleh sebuah kesadaran. Dan dia pun melakukan langsung, dengan mendirikan warung (bukan restoran seperti yang dia cita-citakan). Awalnya, dia kikuk. Tapi, sebagaimana pengakuannya, dengan praktek langsung, dia banyak diuntungkan: dia tahu persis yang diinginkan pelanggannya. Karena para pelanggan itu sering memberi masukan dari sisi rasa masakan, pilihan menu, hingga pelayanan. Maka, dia tahu apa kekurangannya yang harus diperbaiki, dan kelebihannya yang harus dia tingkatkan. Bahkan dia mengaku menyesal, kenapa bisnis ini tidak dimulai dari dulu.

Aa Gym, dalam biografinya juga pernah ragu untuk menerima tamu dari Timur Tengah, mengingat dia hanya bisa bahasa Arab sepotong-potong. Dia pun akhirnya berniat dalam hati, untuk langsung mempraktekkannya. Pertemuan pun terjadi. Aa Gym pun terlihat kagok saat dia bertanya/menjawab mengingat pengetahuan bahasa Arabnya terbatas. Tapi dia berujar pada tamu, kalau sedang belajar bahasa Arab. Di luar dugaannya, sang tamu bukan menyepelekkan atau menertawai, justru merasa salut kepada da'i muda itu.

Dalam mendongeng saya tidak melarang seseorang untuk membaca buku teori dongeng, selama dia bukan sekedar berhenti pada "teori", tapi benar-benar dipraktekkan. Memang dia dapat ilmunya, tapi tanpa praktek lambat-laun ilmu itu akan lupa. Dia akan rugi waktu, juga uang, bila memang dia berkeinginan bisa mendongeng.

Mendongeng sama saja dengan bertutur, bahkan bergosip pun juga mendongeng. Pada dasarnya semua orang bisa bertutur (baca: mendongeng). Mendongeng juga sering saya analogikan seperti bernyanyi. Untuk mulai bernyanyi di depan anak kita, atau di depan anak-anak tetangga, kita kan tidak harus seperti KD (Kris Dayanti), atau membeli buku-buku dulu? Untuk memulai bernyanyi di depan anak kita, cari nyanyian yang sederhana dan bernyanyilah sebaik mungkin (menurut kita), tanpa berpikir teori.

Sama dengan mendongeng. Mulailah dari cara yang sederhana, seperti membacakan buku dongeng kepada anak, meningkat mendongeng sebelum dia tidur, meningkat lagi mendongeng dengan duduk saat bersantai, dan seterusnya. Carilah cerita yang ada disekitar anak, dari sekolahnya, tempat bermainnya, dll. Saat itu jangan berfikir "teori", justru ini yang akan jadi beban, karena yang dilakukan saat itu sudah bagian dari teori, walau pun mungkin tidak disadari.

Saat itu, mungkin dia akan banyak menerima masukan dari si anak. Dari ceritanya yang tidak dia sukai, hingga penyampaiannya yang kurang tepat dilihat dari tanggapan anak. Di sini pendongeng dituntut untuk berkreasi, bagaimana agar anak tertarik dengan dongengnya: diselingi lagu, tari, memakai boneka, sulap, menirukan suara, berekspresi maksimal, dll. Sekali lagi, jangan berpikir teori dulu. Dan banyaklah belajar dari "guru kita", yaitu si anak atau audien itu sendiri.

Bila sambutan anak-anak telah memuaskan (menurut kita sendiri), cobalah baca buku teori dongeng atau bertukar pengalaman dengan rekan yang sebelumnya telah mendongeng. Di sinilah peran buku sangat penting, demikian juga saran dari si temen pendongeng. Carilah hal-hal yang belum kita lakukan dalam mendongeng melalui buku yang kita buka dan baca, lalu sempurnakan dongeng kita.

Dengan cara ini waktu kita tidak tidak terbuang hanya sekedar berteori, tapi kita telah menjadi bagian dari si pelipur lara "pendongeng" .

Ketika mendongeng, jangan berpikir dengan gaya mendongeng kita, atau meniru pendongeng yang telah ada. Bila meniru, yakinlah kita tidak akan bisa, karena masing-masing orang mempunyai pengalaman berbeda. "Gaya" mendongeng kita akan terbentuk dengan sendirinya, seiring dari kegiatan mendongeng yang kita lakukan. Dan dari cara mendongeng yang menurut kita paling baik, ya itulah "gaya" kita.

Sekali lagi maaf bila kurang berkenan, dan terkesan panjang-lebar saya berteori. Karena Anda seharusnya bukan membaca teori ini, tapiiii..... yoook praktek mendongeng!

Wallahu a'lam bissowab...

Tidak ada komentar: