Selasa, 03 Juni 2008

Dia Mulai Terkubur

Dia kini mulai menghilang dari lingkungan kita. Bahkan banyak yang sudah lari dari diri kita. Tapi kita sering tidak peduli. Padahal dalam keseharian, dia selalu kita rindukan. Dia pun, kata orang-orang, menjadi cerminan dari kepribadian kita. Nah lho, siapakah dia?

Adik-adik ada yang tahu? Dia adalah "Keikhlasan". Ada pengalaman kakak yang menarik terkait si-keikhlasan tersebut. Dalam dunia mendongeng seringkali kakak diundang oleh suatu organisasi/yayasan/perorangan untuk mengisi suatu acara yang mengakunya kegiatan sosial. Tawaran seperti ini biasanya akan kakak sesuaikan dengan jadwal mendongeng, yang kakak coret-coretin dalam kalender khusus. Bila kegiatan sosial tersebut tidak bertabrakan dengan jadwal yang sudah ada, maka dengan suka-cita akan kakak terima.

Soal tarif? Bukan sok tidak butuh duit, bila kakak tidak mematok tarif dalam kegiatan sosial. Paling kakak akan bilang, "Berapapun anggaran yang ditetapkan panitia, akan kakak terima." Kalau mereka masih ngotot menanyakan, untuk sosial biasanya berapa. Kembali saya jawab, "Minimal patokannya, bensin motor dan oleh-oleh untuk keluarga di rumah sebagai ganti hilangnya waktu kebersamaan dengan mereka karena mendongeng. Bensin full tank, paling 25 ribu dan beli oleh-oleh juga 25 ribu. Jadi 50 ribu sudah cukup."

Dalam kegiatan mendongeng, dalam sebulan kakak memang mengalokasikan dua hari untuk mendongeng sosial alias gratisan, sebagai ladang amal kakak. Prinsip kakak dalam hal ini: "Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi." Apalagi untuk memberi hiburan ini kan pada dasarnya hanya bermodal congor (mulut), yang divariasikan dengan olah seni bagian tubuh lain.

Bahkan seringkali kakak pulang tanpa ada uang ‘transport’ (sebutan lain untuk biaya acara sosial), tapi diberikan barang. Pernah dapat sarung, pernah pula satu loyang roti, pulpen bagus, dasi, nasi tumpeng, bahkan juga pernah hanya makanan kecil (makanan yang diberikan untuk tamu ulang tahun). Tapi kepuasan mendongeng memang susah digambarkan. Melihat keceriaan anak saat mendengar dongeng, celoteh mereka, beningnya mata mereka, atau kebahagiaan mereka, itu semua tak tergantikan dengan yang lain.

Hanya saja adik-adik, terkadang ada sih orang yang mengundang, dan kakak bebankan biaya seperti di atas, ternyata salah pengertian. Mereka menganggap kakak tidak profesional. Berkali-kali mereka menelepon, dan kakak benar-benar sudah setuju, mengalokasikan waktu untuk dia, dan membatalkan undangan lain untuk hari yang sama, eh ujung-ujungnya mereka membatalkan secara sepihak.

Dan pernah pula, dan ini sering, mengakunya untuk kegiatan sosial. Ternyata ketika kakak datang acaranya sangat besar dan mewah. Pernah kakak ragu-ragu masuk ruangan besar, mengingat di depannya banyak rangkaian bunga ucapan selamat atas berlangsungnya acara. Katanya kegiatan sosial? Satu ucapan selamat dari ratusan bunga selebar papan tulis itu mungkin harganya berbanding jauuuh dari dana yang diberikan kepada kakak.

Bahkan di salah satu papan, rangkaian bunga itu berbunyi: Selamat datang Kak Ucon. Raja Mendongeng Indonesia. Wuaaah, bisa dilabrak Kak Kusumo yang memang sudah lama dikenal sebagai raja dongeng nih. Apalagi, sejak kapan kakak mempunyai kerajaan atau menikah dengan seorang putri dari kerajaan antahberantah?

Pernah pula mengisi dalam acara sosial, ternyata ber-MC artis ternama dan disponsori seabrek perusahaan besar. Bahkan, usai acara pun saat pamitan ternyata uang transport tak kunjung diberikan. Maka, pulang pun dengan tangan hampa. Dalam hati hanya berkata, mungkin lupa menganggarkan.

Adik-adik, ketika mengalami berbagai peristiwa ini, terkadang si-keikhlasan mulai goyah. Dia pun seolah terkubur, berganti dengan rasa jengkel, dongkol, ya minimal mengelus dada. Sempat bertanya, apakah perlu selalu mempertahankan si-keikhlasan? Apa sih untungnya memelihara si dia, kalau hati jadi dongkol? Apa batasan dia harus kakak pertahankan? Atau, karena masyarakat kita memang amat, sangat tidak menghargai seni dongeng sama sekali?

Untung hal ini kakak rasakan di beberapa tempat. Masih lebih banyak tempat yang lebih menghargai dongeng. Lebih banyak perusahaan yang mengundang secara profesional. Lebih banyak pula sambutan yang menyebabkan si-keikhlasan betah bertengger di hati. Lebih banyak lagi keceriaan anak-anak yang menjadi obat mujarab, yang mampu mengidupkan si-keikhlasan.

Tuhan Maha Adil. Bila keikhlasan hitungannya berdasar gemerincing uang, percayalah rejeki itu sudah ada yang ngatur. Semakin besar pundi-pundi dinar yang adik-adik tumpuk dari mendongeng, janganlah lupa menyisihkan 2,5% bagi kaum papa, karena memang itulah hak mereka. Inilah jalan utama bila kakak menginginkan rejeki berkembang seperti berkembangnya si-keikhlasan di musim semi dalam hati yang lapang.

Maka, apakah keikhlasan akan mulai terkubur? No way. Dia selalu bangkit dari kubur. Bangkit dari kehampaan hati. Dan...selalu bersemi di hati kita. Setuju kan adik-adik...?