Jumat, 24 Oktober 2008

Menangkap Penyihir

Libur sekolah merupakan waktu yang menyenangkan. Tapi pada libur kali ini, bagi Dodot waktu yang menyebalkan. Dia harus menunggu rumah, karena orang tuanya ada acara mendadak yang harus dihadiri. Padahal mereka sudah janji, kalau hari ini mau mengajak Dodot mengunjungi nenek.

Selama ini Dodot memang belum pernah bertemu nenek. Mengingat Dodot lahir di luar negeri, dan baru dua minggu ini balik ke Indonesia mengikuti tugas Papanya. “Sibuk melulu. Kapan jadinya ke rumah nenek...!” gerutu Dodot.

Suasana sepi dan kondisi rumah yang masih berantakan, yang membuat Dodot merasa bosan beraktifitas. Main mobil-mobilan? “Bosan!”
Melukis pemandangan? “Juga bosan.”
Ya sudah, main PS (play station) saja. “Aaaah...pokoknya, bosan bosaaan...!”

Rasa bosan itu, masih ditambah lagi dengan cuaca mendung di luar. Di sela tiupan angin tanda akan turun hujan, tiba-tiba petir menyambar dengan keras. Dodot terlonjak kaget. Badannya terasa gemetaran. Dodot memang paling benci mendengar suara petir. “Uuuh...Mama kok lama banget sih,” katanya.

Hari yang mulai gelap akibat langit mendung, makin menciutkan nyalinya. Dengan gelisah, Dodot menyibak horden jendela kamarnya untuk melihat suasana jalanan di depan rumah. Suasananya sepi, tak ada orang yang lalu-lalang. Tapi tunggu dulu. Mmm...siapa ya yang berdiri di seberang jalan itu?

“Kenapa orang itu melihat rumahku terus?” kata Dodot. Orang di seberang jalan itu terlihat tajam memperhatikan rumahnya.
“Jangan-jangan...,” Dodot tidak berani melanjutkan kata-katanya. Segera horden dia tutup. Dodot ingat cerita dari Budi dan Iwan, dua teman baru dia kenal di lingkungan rumah, kalau sekarang banyak penculikan.
“Iiih, ngeri...,” katanya.

Penasaran, Dodot kembali mengintip ke luar rumah. “Ah, nggak mungkin penculik. Dia sepertinya kan orang tua, melihat tubuhnya yang agak bongkok. Tapi kenapa dia memakai jubah?” katanya.
“Nah betul kan, pasti dia penyihir. Lihat! Dia memegang tongkat besar. Benar, dia penyihiiir...,” teriak Dodot sambil kembali menutup horden dan mengunci jendela.

Segera dia bangkit dan berlari ke ruang tamu, serta mengunci semua pintu dan jendela yang sebelumnya sudah tertutup. Lalu, kembali Dodot berlari ke kamarnya dang langsung membenamkan wajahnya di balik bantal. Namun tiba-tiba, “Tok tok tok...tok tok tok.” Pintu rumahnya di ketuk!

Dengan perasaan semakin ngeri, Dodot mengintip ke luar. “Ha...penyihir itu menghilang! Nggak ada di seberang jalan? Berarti...berarti, yang mengetuk rumah si penyihir, dan mau masuk rumah...!” katanya sambil kembali menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

Tapi ketukan pintu semakin keras. Dan kali ini diiringi suara keras wanita. “Tok tok tok...Dodot kenapa pintunya dikunci? Kan masih siang...?”
“Apa anak itu pergi ya? Tapi kemana?” timpal seorang pria.
“Oh, itu kan suara Mama dan Papa. Mamaaa...!,” kata Dodot sambil berlari membuka pintu.

Belum lagi kedua orangtuanya masuk rumah, Dodot nyerocos menceritakan tentang penyihir di seberang jalan. Mendengar itu semua, Pada maupun Mama hanya tersenyum saja. “Sudahlah Dodot. Tidak usah berkhayal. Waktu sudah menjelang sore. Lebih baik kamu bersiap-siap. Ingat kan...hari ini kita mau bertemu nenek?” kata Mama.

Berkali-kali Dodot meyakinkan orangtuanya. Tapi tetap saja mereka tidak percaya akan penyihir itu. Bahkan mereka terus ke kamar dan menyiapkan segala yang diperlukan untuk bepergian. “Wah, gimana nih? Bahaya sudah mengancam, mereka masih tak sadar. Aduuuh...,” kata Dodot kebingungan.

Dodot pun memutuskan kembali ke kamarnya. Kemudian dengan rasa penasaran, dia kembali mengintip keluar, dan...penyihir itu kembali berdiri di seberang jalan! Bahkan, dia mengangkat tangan kirinya yang tidak memegang tongkat. “Gawat, sepertinya dia sudah mulai merapal mantra dan siap menyihir. Saya harus menyelamatkan Papa-Mama...!” kata Dodot.

Kembali Dodot berlari keluar kamar, “Saya harus menemui Budi dan Iwan untuk membantuku.” Dodot pun keluar rumah dari pintu belakang, dan pergi ke taman, tempat biasa kedua temannya bermain.

Seperti diperkirakan, ke dua temannya memang sedang asyik bermain walaupun cuaca lagi mendung. Segera Dodot menceritakan tentang penyihir di depan rumah. “Kita harus mengalahkannya,” jelasnya sambil membeberkan rencananya.

“Dot, saya takut...” kata Iwan.
“Ah...dasar penakut!” kata Budi.
“Kalau kamu mengikuti rencana, nggak bakalan bahaya,” jelas Dodot meyakinkan.

Akhirnya mereka sepakat. Waktu itu juga mereka berjalan mengendap-endap dari arah berbeda ke arah penyihir. Setelah menyebrang taman dan melewati tanaman perlu, Dodot sudah sampai persembunyiannya, tak jauh dari penyihir berdiri.

Sesaat kemudian dia berteriak bak Indian, “Hu hu hu huuu...!” Secepat kilat, Dodot langsung bergerak ke arah penyihir dan merebut tongkatnya. Pada waktu bersamaan, dari lokasi berbeda, Budi dan Iwan segera menubruk penyihir dengan memegang dua kakinya. “Hai anak-anak, kalian mengapa? Hai jangan begitu, saya bisa jatuh...!” kata si ‘penyihir’ kebingungan.

“Horeee...tongkatnya sudah saya rebut. Berarti dia nggak bisa menyihir lagi,” kata Dodot penuh kemenangan.
“Wah, kakinya ternyata menginjak tanah. Berarti nenek ini bukan penyihir jahat dong?” kata Budi sambil berpaling kepada Dodot.

Ribut-ribut di pinggir jalan tersebut ternyata menarik perhatian masyarakat di lingkungan itu, termasuk orangtua Dodot. “Hai, ada apa ini?” tanya Mama Dodot sambil menyibak beberapa tetangga yang sudah ada di situ.
Sebelum ada yang menjawab, sang Mama melihat seorang perempuan yang duduk kebingungan sambil dipegang Dodot, Budi dan Iwan. “Lho, ibu kok ada di sini?” katanya kepada ‘penyihir’, “ayo anak-anak lepasin. Ini neneknya Dodot...!”

Sambil melepas pegangannya Dodot terbengong, dan menjauh dari ‘penyihir’. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan Mamanya, “Nenek...?”
Kembali dia lihat si ‘penyihir’, seorang perempuan tua dengan wajah penuh kerut ketuaan, tubuhnya yang sedikit bongkok terbalut baju batik terusan dengan kerudung yang serasi. Tongkat ‘ajaib’ yang direbutnya, ternyata hanyalah payung besar dalam kondisi tertutup.

“Murni...saya tidak tahu, kenapa tiba-tiba anak-anak ini mengerubuti saya,” kata nenek kepada Mamanya Dodot. “Murni, saya memang langsung ke rumahmu sesuai alamat yang kamu beri. Saya sudah tidak sabar bertemu dengan cucuku...,” kata nenek.

“Iya, tapi kenapa ibu tidak mengabari kita dulu?” kata Murni.
“Nggak ada gunanya. Kamu sudah berkali-kali janji mau segera ke rumah, nggak jadi-jadi gitu. Sibuk inilah, sibuk itulah...,” kata nenek menggerutu, “tapi sudahlah. Sekarang mana cucuku...?”

“Dodot, kenapa kamu bengong saja. Hayo, sapa nenekmu. Kamu kan sudah berkali-kali menanyakannya?” kata Murni.
“Ooo...itu ya cucuku. Aduh gantengnya...,” kata nenek sambil berusaha berdiri untuk mendekati Dodot, “saya sebenarnya di depan rumahmu menjelang siang tadi Marni. Saya mengagumi rumahmu, besar dan tertata rapi. Tapi saya dengar dari tetanggamu, kamu sekeluarga baru keluar rumah. Jadi saya tunda ke rumahmu, dan saya tunggu di sini.”

Setelah berhenti sejenak, nenek melanjutkan penjelasannya. “Saya sempat meninggalkan tempat ini untuk makan di warung. Nah, waktu kembali lagi saya melihat cucuku dari balik jendela itu. Tapi waktu saya melambai, eh...dia langsung menghilang. Dan beberapa saat kemudian, cucuku ini dengan teman-temannya mengajakku bermain-main, he he he...,” tawa nenek menunjukkan giginya yang telah ompong, sambil membelai kepala Dodot.

“Nek...maafkan saya. Saya kira...saya kira, nenek adalah...,” kata Dodot terputus karena tenggelam dalam rangkulan nenek yang telah lama dia rindukan. Banyak yang ingin Dodot sampaikan, tapi semua tersumbat dikerongkongan. Yang pasti, perasaannya bahagia sekali. Walau sungai kecil mengalir di atas pipi ranumnya, tapi senyumnya terkembang, penuh rasa bahagia.