Senin, 01 September 2008

Pengakuan Seorang Pembunuh: "Saya Melakukannya Karena Terpaksa"

Saya sudah tidak kuat lagi menyimpan perbuatan saya dari orang lain. Wajahnya yang pucat dengan mata terbeliak selalu terbayang di benakku. Apalagi mayatnya tidak saya kubur selayaknya. Dibantu istri, jasadnya saya angkat dan saya tinggalkan di kebun kosong di pinggiran Depok, hanya saya tutupi daun-daun pisang yang ada di sekitar situ.

Ya, sehari sebelum Ramadhan kemarin, 31/8, saya melakukan pembunuhan. Saya tahu kalau ini perbuatan dosa. Apalagi menjelang bulan suci. Tapi saya tak rela bila memang saya harus disidang dikenakan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) pasal 340, tentang pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal seumur hidup. Terus terang, saya melakukannya dengan amat terpaksa. Sekali lagi, terpaksa.

Korban, si tunawisma (kalau boleh saya katakan demikian, karena memang tidak mempunyai rumah permanen yang layak) memang keterlaluan. Setiap hari dia mengais makanan di rumah saya. Saya juga membiarkannya mengambil beberapa tanaman produktif yang saya tanam di pekarangan, bahkan sering merusaknya.

Tapi tunawisma itu tidak pernah berterimakasih atas segala kebaikan saya itu. Sudah diberi hati, ingin ampela. Ngelunjak! Padahal dia waras, nggak gila. Bermula dari beberapa waktu lalu ada tamu yang datang ke rumah melapor, kalau dia sering digoda oleh si tunawisma. Saya telah memberinya peringatan. Bukannya kapok, dia malah sering menggoda siapa saja yang datang ke rumah. Bahkan ada yang berteriak-teriak saking takutnya. Karena peristiwa itu saya telah mengusir si tunawisma, dan saya wanti-wanti untuk tidak datang lagi ke rumah.

Sayangnya dia tidak mempunyai moral. Entah karena marah, dia mencangkuli pekarangan rumah. Ini saya tahu, awalnya karena laporan dari tetangga. Terakhir, saya sering mendapati (maaf) ‘tai’ atau kotoran besar teronggok di pojok beranda samping. Semula saya tak curiga, ya paling ada yang iseng. Tapi perbuatan ini terus berulang. Yang kena getahnya adalah istri, karena harus selalu membersihkan. Anak saya yang baru berumur dua tahun juga kena getahnya. Terkadang si kecil ketahuan memegang ‘barang warisan’ itu yang mungkin dikira mainan. Ggrrrkhh..!!!

Benar, bila Anda mengatakan saya pasti berprasangka buruk pada si tunawisma yang saya usir beberapa waktu lalu. Tapi akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri, dia melakukan perbuatan nista itu, setelah saya mengadakan pengintaian. Malam itu si tunawisma mengendap-endap memasuki pekarangan, menuju beranda rumah. Di balik rimbunnya tanaman pandan wangi, dia meninggalkan ‘warisannya’.

Saya sejak sore, dibantu beberapa teman, telah menyiapkan pemukul. Sayangnya, malam itu ada teman yang mungkin gemas, segera keluar untuk menghajar si tunawisma. Melihat gelagat kurang baik itu dia segera kabur, meloloskan diri.

Coba, bagaimana saya tidak jengkel. Sesabar-sabarnya orang ada batasnya. Apalagi mendengar omelan istri, karena harus bersih-bersih. Yah, rangkaian peristiwa itu seolah menutup akal warasku. Saya tidak mau kasar, tapi saya tidak mau melihat batang hidung si tunawisma itu selamanya, titik…!!!

Dua hari sebelum kejadian, saya membeli racun, saya pilih yang paling manjur. Terserah bila Anda bilang saya kejam. Nah, malam menjelang Ramadhan kemarin, saya sediakan makanan yang dulu menjadi kesukaannya, tapi kali ini sudah saya bubuhin racun. Saya yakin bila dia mau puasa pasti mencari makanan, dan bila berani datang ke rumah dia akan mendapati hidangan di depan rumah, yang saya kemas seolah makanan sisa kita.

Tepat perkiraan saya, malam itu dia datang dan tanpa ba bi bu atau permisi, dia santap makanan itu. Kurang ajarnya, sempet-sempatnya dia meninggalkan ‘warisan’ sambil tertawa-tawa tertahan. Biarin, mampus lu! Kataku dalam hati. Benar saja, belum sempat keluar dari pintu pagar, dia ambruk, mati. Selanjutnya, ya seperti saya ceritakan tadi, saya buang mayatnya.

Memang sampai sekarang, perbuatan saya ini belum ada yang mengetahui. Baik tetangga maupun kepolisian. Kecuali Anda dan istri saya. Tapi istri saya, saya tegaskan, tidak terlibat perbuatan ini. Ini perbuatan saya. Kini saya yakin, mayatnya sudah diketemukan, entah dimuat di media apa nggak, saya nggak mau tahu. Karena sejak kejadian itu saya memang tidak berani membaca media.

Kalaupun nanti yang berwajib mampu mengusut perbuatan saya ini, saya akan langsung mengaku. Tanpa ada yang harus saya tutup-tutupi. Bahkan barang bukti, berupa sisa racun, mangkok, dan lainnya tetap saya simpan, untuk memudahkan pengusutan. Saya pun telah meninggalkan beberapa pesan buat istri dan anakku, bila memang saya harus ditangkap ataupun harus mendekam dalam penjara.

Terus terang dalam hati terdalam ada penyesalan atas perbuatan itu. Tapi juga kelegaan tikus ‘tunawisma’ itu sudah tiada. Ada sih, kekhawatiran balas dendam kawanan tikus teman-temannya menyerbu ke rumah, tapi masa bodoh ah. Itu dipikir belakangan saja. Selamat jalan tikus, semoga perbuatanku ini kamu maafkan.

NB: Maaf teman-teman, mohon perbuatan saya ini jangan diceritakan kepada pihak berwajib dan orang lain, terutama anak-anak. Sangat riskan. Cukup Anda saja yang tahu. Terimakasih atas pengertian teman-teman.

Tidak ada komentar: